Di Antara Seragam dan Sabuk Hitam: Polri Menjaga Netralitas di Arena Taekwondo

Disusun oleh: sabeumnim Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I., dan Sabeumnim T. Radja Azhari,
(Wasit Taekwondo Indonesia Provinsi Aceh)

Kehadiran anggota Polri sebagai wasit dalam cabang olahraga Taekwondo Indonesia bukan hanya sekedar fenomena fisik di arena pertandingan, melainkan cerminan dari integrasi nilai-nilai kedisiplinan, keadilan, dan profesionalitas yang melekat dalam dua dunia: penegakan hukum dan bela diri. Di tengah sorotan publik terhadap transparansi dan etika institusi negara, figur polisi yang berdiri di tengah arena sebagai wasit menjadi simbol penting menegaskan tentang makna netralitas dan ketegasan yang tak memihak.

Taekwondo, sebagai seni bela diri asal Korea, menjunjung tinggi lima prinsip utama: berbudi luhur, integritas, keteguhan, pengendalian diri, dan semangat juang. Nilai-nilai ini sejalan dengan ethos kepolisian yang menuntut kejujuran, keberanian, dan rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Ketika seorang polisi mengenakan seragam wasit Taekwondo, ia tidak hanya mengawal jalannya pertandingan, tetapi juga membawa serta kredibilitas institusi yang diwakilinya.

Dalam praktiknya, menjadi wasit Taekwondo bukanlah tugas yang ringan. Dibutuhkan ketelitian dalam membaca gerakan, kecepatan dalam mengambil keputusan, dan keberanian untuk memutuskan sanksi ketika terjadi pelanggaran. Polisi yang terlatih dalam pengambilan keputusan cepat dan objektif memiliki modal kuat untuk menjalankan peran ini secara profesional. Hal ini memperkuat persepsi bahwa, Polri tidak hanya hadir di ruang hukum, tetapi juga turut berhadir di ruang pembinaan karakter.

Kehadiran Polri sebagai wasit juga membuka ruang dialog antara institusi negara dan masyarakat sipil melalui salah satu cabang olahraga. Di tengah ketegangan sosial atau ketidakpercayaan publik terhadap aparat, figur polisi yang berinteraksi dengan atlet muda, pelatih, dan penonton dalam suasana kompetitif yang sehat dapat menjadi jembatan empati dan pemulihan citra. Olahraga menjadi ruang netral di mana nilai-nilai universal seperti keadilan dan sportivitas bisa dirasakan secara bersama.

Selanjutnya, keterlibatan Polri dalam Taekwondo menunjukkan bahwa institusi ini tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pembinaan. Banyak anggota Polri yang aktif sebagai pelatih, atlet, bahkan pengurus organisasi olahraga bela diri. Ini menunjukkan bahwa Polri memiliki potensi besar dalam mendukung pengembangan sumber daya manusia yang tangguh, beretika, dan berprestasi. Dalam konteks Indonesia Emas 2045, sinergi ini sangatlah strategis.

Namun, tantangan tetap selalu ada. Polisi sebagai wasit Taekwondo harus menjaga jarak dari konflik kepentingan, terutama jika pertandingan melibatkan atlet dari institusi yang sama. Netralitas harus dijaga secara ketat, karena satu keputusan yang bias dapat merusak kredibilitas tidak hanya pertandingan, tetapi juga institusi Polri secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelatihan etika dan pengawasan internal harus menjadi bagian integral dari proses sertifikasi wasit.

Dari sisi pembinaan atlet muda, kehadiran polisi sebagai wasit bisa menjadi inspirasi. Anak-anak dan remaja yang melihat figur aparat negara dalam peran yang adil dan sportif akan lebih mudah membangun kepercayaan terhadap negara. Ini penting terutama di daerah-daerah yang memiliki sejarah ketegangan antara masyarakat dan aparat. Taekwondo menjadi ruang rekonsiliasi yang tidak verbal, tetapi sangat bermakna.

Dalam konteks Aceh, misalnya, di mana nilai adat, agama, dan etika sangat dijunjung tinggi, kehadiran polisi sebagai wasit Taekwondo bisa menjadi simbol harmonisasi antara kekuasaan dan kebudayaan. Ketika aparat negara menunjukkan sikap adil dan sportif di arena publik, mereka tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga telah merawat kepercayaan sosial yang menjadi fondasi perdamaian dan pembangunan.

Pada kesimpulannya, dengan kehadiran Polri sebagai wasit Taekwondo Indonesia merupakan cerminan dari transformasi institusional secara luas. Ini bukan sekedar soal pertandingan, tetapi tentang bagaimana negara kemudian hadir dalam kehidupan masyarakat dengan cara yang adil, manusiawi, dan penuh inspirasi. Di antara seragam dan sabuk hitam, ada harapan bahwa, keadilan bisa ditegakkan tanpa kekerasan, dan bahwa disiplin bisa dibangun melalui keteladanan, bukan paksaan.