
Disusun oleh: Sabeumnim Ita Purnama Sari,
(Pelatih Utama Dojang Budi Darma, dan Wakil Koordinator Wasit TI Aceh Besar)
Dalam dunia olahraga yang kerap didominasi oleh laki-laki, kehadiran wasit perempuan di arena Taekwondo menjadi simbol perubahan yang pelan namun pasti. Mereka tidak hanya hadir sebagai pengadil pertandingan, tetapi juga sebagai representasi dari perjuangan melawan “stereotip gender” yang telah lama mengakar dalam struktur olahraga kompetitif.
Wasit perempuan di Indonesia masih tergolong minoritas, baik dalam jumlah maupun dalam penugasan di ajang-ajang bergengsi. Meski demikian, kehadiran mereka membawa warna baru dalam dinamika perwasitan. Di tengah sorotan publik dan tekanan kompetisi, mereka menunjukkan bahwa kompetensi tidak mengenal jenis kelamin.
Peran wasit perempuan tidak berbeda secara teknis dari rekan laki-laki mereka. Mereka menjalankan tugas yang sama: menjaga keadilan, memastikan aturan ditegakkan, dan mengendalikan ritme pertandingan. Namun, tantangan yang mereka hadapi jauh lebih kompleks, karena menyangkut konstruksi sosial dan ekspektasi budaya yang sering kali tidak adil.
Salah satu tantangan utama adalah keraguan terhadap kapasitas fisik dan mental perempuan dalam menghadapi tekanan pertandingan. Padahal, profesionalisme seorang wasit tidak ditentukan oleh kekuatan fisik, melainkan oleh ketajaman analisis, ketegasan, dan pengendalian emosi. Banyak wasit perempuan yang justru menunjukkan ketenangan luar biasa di tengah situasi genting dan krusial.
Di arena nasional, penugasan wasit perempuan sering kali terbatas pada kategori junior atau pertandingan yang dianggap “ringan.” Ini mencerminkan bias struktural yang belum sepenuhnya terurai. Padahal, banyak wasit perempuan yang telah memiliki lisensi nasional bahkan internasional, dan layak memimpin pertandingan di level tertinggi.
Tantangan lain adalah minimnya representasi perempuan dalam struktur kepengurusan perwasitan. Keputusan strategis tentang penugasan, pelatihan, dan promosi sering kali diambil oleh kelompok yang homogen secara gender. Akibatnya, aspirasi dan kebutuhan wasit perempuan kurang terakomodasi secara sistemik.
Namun, di balik tantangan tersebut, ada pula kisah-kisah inspiratif. Beberapa wasit perempuan Indonesia telah menembus panggung internasional, memimpin pertandingan di kejuaraan dunia dan Asia. Mereka menjadi bukti bahwa kualitas tidak mengenal batas gender, dan bahwa perempuan Indonesia mampu bersaing di level global.
Kehadiran wasit perempuan juga membawa dampak positif terhadap ekosistem olahraga secara keseluruhan. Mereka menjadi “role model” bagi atlet perempuan, pelatih, dan generasi muda yang ingin menekuni dunia perwasitan. Representasi ini penting untuk membangun budaya olahraga yang inklusif dan berkeadilan.
Dari sisi etika, wasit perempuan sering kali menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap dinamika pertandingan. Mereka lebih peka terhadap situasi emosional atlet, dan mampu meredam konflik dengan pendekatan yang komunikatif. Ini bukan berarti wasit laki-laki kurang empatik, tetapi menunjukkan bahwa keberagaman gaya kepemimpinan perlu dihargai.
Untuk mendorong profesionalisme wasit perempuan, pelatihan dan pembinaan harus dirancang secara inklusif. Modul pelatihan perlu mempertimbangkan tantangan khusus yang dihadapi perempuan, termasuk aspek psikologis, sosial, dan struktural. Mentoring oleh wasit senior perempuan juga bisa menjadi strategi efektif dalam membangun kepercayaan diri dan kompetensi.
Di tingkat internasional, federasi seperti World Taekwondo telah membuka ruang lebih luas bagi wasit perempuan. Namun, representasi dari negara-negara berkembang masih minim. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengisi kekosongan ini, asalkan pembinaan dilakukan secara serius dan berkelanjutan.
Penting pula untuk membangun narasi publik yang mendukung kehadiran wasit perempuan. Media, organisasi olahraga, dan komunitas Taekwondo harus aktif mengangkat kisah dan prestasi mereka. Ini bukan sekadar soal pencitraan, tetapi tentang membentuk persepsi kolektif bahwa perempuan layak dan mampu menjadi pemimpin di arena kompetisi.
Wasit perempuan juga perlu diberi ruang dalam pengambilan keputusan strategis. Keterlibatan mereka dalam kepengurusan perwasitan akan memperkaya perspektif dan mendorong kebijakan yang lebih adil. Representasi bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal pengaruh dan partisipasi yang bermakna.
Dalam konteks Indonesia, perjuangan wasit perempuan menembus batas gender adalah bagian dari gerakan yang lebih luas untuk membangun olahraga yang berkeadilan. Ini sejalan dengan nilai-nilai profetik tentang kesetaraan, amanah, dan penghargaan terhadap kompetensi tanpa diskriminasi.
Akhirnya, profesionalisme wasit perempuan bukanlah wacana idealistik semata. Ia adalah kenyataan yang sedang tumbuh, meski belum sepenuhnya diakui. Dari pelatihan ke lapangan, dari stigma ke pengakuan, perjalanan mereka adalah cermin dari transformasi sosial yang lebih besar.
Wasit perempuan tidak meminta perlakuan khusus. Mereka hanya menuntut kesempatan yang adil untuk menunjukkan kapasitas dan integritas mereka. Dan ketika kesempatan itu diberikan, mereka membuktikan bahwa peluit di tangan perempuan bisa sama tegas, adil, dan bermartabatnya dengan siapa pun.
Dengan dukungan sistem yang inklusif, budaya yang menghargai keberagaman, dan pembinaan yang berkelanjutan, Indonesia bisa menjadi pelopor dalam membangun ekosistem perwasitan yang setara. Wasit perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi pilar penting dalam membentuk masa depan Taekwondo yang lebih adil dan berkelas dunia.